Hibah yang Dibuat oleh Penghibah yang Sedang Sakit atau Di Bawah Ancaman Sah

Hibah yang Dibuat oleh Penghibah yang Sedang Sakit atau Di Bawah Ancaman Sah by Kristoper Tambunan, S.H.,M.H.

Hibah bisa diartikan sebagai rolex replica expert pemberian Cuma-Cuma seseorang, kepada orang lain semasa hidupnya. Jadi, Hibah baru sah mengikat penghibah, dan memberikan akibat hukum, sejak penghibahan tersebut diterima oleh penerima hibah. Berarti hibah harus dilakukan, ketika pemberi hibah dan penerima hibah masih hidup. Jadi, sepanjang hibah sudah dilakukan, lalu penerima hibah meninggal dunia, hibah itu tetap sah.

Hal yang perlu menjadi catatan kita, ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hibah menjadi batal, yaitu antara lain:

  1. Hibah yang mengenai benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 1667 ayat (2) KUHPerdata).
  2. Hibah yang menyatakan si penghibah, tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain, suatu benda yang termasuk dalam hibah, dianggap batal. Yang batal hanya terkait dengan benda tersebut. (Pasal 1668 KUHPerdata).
  3. Hibah yang membuat syarat, bahwa iwc replica watches penerima hibah akan melunasi utang atau beban-beban lain, di samping apa yang dinyatakan dalam akta hibah itu sendiri atau dalam daftar dilampirkan (Pasal 1670 KUHPerdata).
  4. Hibah atas benda tidak bergerak menjadi batal, jika tidak dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata).

Dalam hukum Indonesia, hibah memiliki syarat-syarat khusus untuk dinyatakan sah. Pada kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1289k/Pdt/2019, terjadi pemberian hibah yang dilakukan oleh seorang bibi/tante kepada keponakannya. Di persidangan, saksi menyatakan pada saat dilakukannya hibah tersebut, si pemberi hibah replica watches dalam keadaan sakit ingatan, dan sudah sulit untuk mengenali orang disekitarnya. Apalagi Hibahnya tanpa adanya persetujuan dari ahli waris.

Karena Hibah ini bisa diidentikkan dengan Perjanjian, maka agar hibah tersebut dikatakan sah, dan mengikat secara hukum, hibah harus memenuhi empat syarat perjanjian diatur di

dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Untuk itu pelaksanaan hibah, haruslah dilakukan dengan mengikuti pengaturan di dalam syarat sah perjanjian ini. Ketika syarat sah perjanjian ini, dilanggar maka dapat menimbulkan akibat hukum. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka Hibah dapat dibatalkan oleh pihak yang berkepentingan, sedangkan apabila syarat objektif dinyatakan terlanggar maka Hibahnya menjadi batal demi hukum.

Dalam kasus ini, diketahui bahwa pemberi hibah yang sudah tua, bahkan sakit ingatan, dan sudah sulit untuk mengenali orang-orang disekitarnya, sehingga perlu diperhatikan mengenai: syarat sah perjanjian kedua yaitu kecapakan para pihak dalam perjanjian.

Ketentuan mengenai orang-orang yang dianggap tidak cakap hukum diatur di dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu :

  1. Orang-orang yang belum dewasa;
  2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan atau harus ada wali;
  3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya, semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu.

Pasal 433 KUHPerdata, menjelaskan bahwa seseorang yang sudah dewasa, dapat ditaruh dibawah pengampuan (wali), apabila ia selalu berada di dalam keadaan gangguan mental, sakit otak, mata gelap, ataupun karena keborosonnya. Artinya, Orang-orang yang disebutkan dalam pasal ini, dinyatakan sebagai pihak yang tidak cakap hukum dan memerlukan pihak lain yaitu Wali, untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Bisa orang terdekatnya seperti keluarga.

Jadi, kalau Penghibah yang memberikan hibah, pada saat itu sedang sakit dan sudah pikun, maka Penghibah dapat dikategorikan, sebagai orang yang harus berada di bawah pengampuan (harus ada Wali), karena keadaan ingatannya yang sudah tidak dapat mengenali orang lain, termasuk kalau penghibah diancam/ada pemaksaan. Sehingga
dalam hal ini, syarat sah perjanjian mengenai cakap hukum terlanggar.

Artinya, hibah yang dibuat oleh seseorang yang sudah tua, sakit-sakitan, atau bahkan mengalami gangguan kognitif seperti demensia, dapat dianggap tidak sah karena kemungkinan kurangnya kecakapan hukum (Pasal 1320 KUHPerdata).

Selain itu, Pasal 1321 KUHPerdata mengatur bahwa persetujuan atau kesepakatan yang diberikan di bawah ancaman, paksaan, atau tipu muslihat adalah batal demi hukum. Oleh karena itu, jika hibah diberikan karena adanya tekanan, paksaan, atau ancaman, hibah tersebut dapat dibatalkan.

Langkah Hukum yang Bisa Ditempuh:

  1. Gugatan Pembatalan Hibah ke Pengadilan:

Jika hibah sudah terjadi dan dibuat dalam bentuk akta notaris, Anda dapat mengajukan gugatan pembatalan hibah ke pengadilan. Gugatan ini didasarkan pada Pasal 1320 dan 1321 KUHPerdata, untuk menyatakan bahwa hibah tidak memenuhi syarat kesepakatan atau dilakukan di bawah ancaman atau tekanan. Termasuk Menggugat Notaris Jika Ada Kelalaian. Atau terdapat bukti bahwa notaris, tidak memastikan kondisi kesehatan atau kecakapan hukum pemberi hibah. Selain itu, anda juga bisa membuat pengaduan ke Majelis Kehormatan Notaris, atau gugatan hukum atas kelalaian notaris tersebut.

  • Melaporkan Dugaan Pemaksaan atau Ancaman ke Polisi.

Jika Anda mempunyai bukti, bahwa hibah dibuat karena ancaman atau paksaan, Anda bisa melaporkan hal ini ke pihak berwajib. Ancaman atau pemaksaan terhadap seseorang untuk melakukan perbuatan hukum seperti hibah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sesuai Pasal 368 KUHP tentang pemerasan/pengancaman.

Jadi, kalau anda pernah mengalami kasus serupa atau merasa ada yang tidak wajar dalam hibah yang sudah dibuat, anda bisa mengajukan Upaya hukum, baik secara perdata dengan cara mengajukan gugatan pembatalan hibah ke pengadilan negeri, atau mengajukan Upaya hukum secara pidana dengan membuat laporan polisi, kalau misalnya ada dugaan tindak pidana pemaksaan/ancaman, agar penghibah membuat hibah, atau misalnya ada pemalsuan hibah.

Silahkan klik Video di bawah ini:

Hak Karyawan yang Mengundurkan Diri (Resigned) dari Perusahaan

HAK KARYAWAN YANG MENGUNDURKAN DIRI (RESIGNED)

By. Kristoper Tambunan, S.H.,M.H.

Apakah karyawan swasta, yang kemudian mengundurkan diri (resigned), berhak mendapatkan uang pesangon? 

Pertanyaan ini sering ditanyakan audiens kita, karena menyangkut tentang bagaimana hak karyawan swasta, yang mengundurkan diri (resigned). Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipastikan, apa status dari karyawan swastanya. Apakah berstatus sebagai karyawan kontrak/karyawan outsourcing, berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), atau berstatus karyawan tetap, berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Kenapa ini penting, karena hanya karyawan tetap, yang berhak mendapatkan pesangon, uang penggantian hak dan uang penghargaan masa kerja dan hak-hak lainnya, kalau misalnya si karyawan di PHK. Karena, pertanyaannya menyangkut tentang pesangon, jadi saya menganggap, status karyawannya sebagai karyawan tetap.

Seperti yang kita ketahui, uang pesangon adalah salah satu hak dari karyawan swasta yang mengundurkan diri dari sebuah perusahaan. Kalau mengacu ke UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, hak-hak karyawan atas pesangon itu diatur dalam Pasal 156 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan sejak berlakunya Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 atau UU Cipta Kerja, uang pesangon diberikan kepada karyawan swasta dengan kategori tertentu, salah satunya yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Akan tetapi, sama halnya dengan UU Ketenagakerjaan, uang pesangon dalam UU Cipta Kerja ini juga tidak berlaku bagi karyawan swasta yang
resign (mengundurkan diri). Dengan catatan, resign atau pengunduran diri dari perusahaan tempat bekerjanya tersebut karena kemauan diri sendiri. Bukan karena paksaan/dipaksa pihak Perusahaan atau pihak manapun juga.

Pertanyaannya, jadi apa dong hak karyawan yang sudah mengundurkan diri (resigned)? Apa tidak berhak sama sekali atau tidak dapat apa-apa dari pihak Perusahaan, sementara si karyawan sudah lama bekerja/mengabdi di Perusahaan tempatnya bekerja?

Perlu saya sampaikan, walaupun karyawan yang mengundurkan diri, tidak dapat uang pesangon, pemerintah mengatur tentang 2 jenis hak karyawan swasta yang resign.

Berdasarkan pasal 50 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021, diatur tentang:

1. Uang Penggantian Hak

Uang Penggantian Hak untuk karyawan swasta yang resign terdiri dari 3 jenis:

– Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur. Walaupun dalam prakteknya, Sebagian besar Perusahaan dalam peraturan perusahaannya menyatakan cuti tahunan tidak bisa diuangkan.

– Biaya atau ongkos pulang untuk karyawan swasta dan keluarganya ke tempat di mana karyawan swasta diterima bekerja. Biasanya ini hanya berlaku, bagi karyawan yang recruitmennya dari daerah lain, dan sebelumnya, aturan tentang ongkos pulang ini sudah diatur dalam peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja atau perjanjian kerja Bersama .

2. Uang Pisah

Perhitungan tentang uang pisah, untuk karyawan swasta yang resign, berbeda-beda di setiap Perusahaan, tergantung kebijakan Perusahaan. Hanya saja, yang perlu digaris bawahi, sebagian besar, Perusahaan tidak memberikan uang pisah, apalagi kalau misalnya si karyawannya sudah dimaksukkan dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Jadi, kalau karyawan mengundurkan diri, si karyawan hanya bisa mencairkan BPJS Ketenenagakerjaannya.

Jadi, pemberian uang penggantian hak dan uang pisah ini, diberikan ke karyawan yang mengundurkan diri, dengan catatan:

1.     Uang penggantian hak dan uang pisah ini, sebelumnya sudah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.  

2.     Uang penggantian hak dan uang pisah, diberikan kepada karyawan swasta yang mengajukan resign, telah memenuhi syarat dalam UU Cipta Kerja.

Biasanya, ada 3 syarat, agar karyawan swasta yang ingin resign, mendapatkan uang penggantian hak dan uang pisah:

1.     Wajib mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri (one month notice).

2.     Karyawan swasta yang bersangkutan tidak terikat dalam ikatan dinas. Jadi, sebelumnya, tidak ada kesepakatan/perjanjian dengan pihak Perusahaan kalau misalnya, selama kurun waktu tertentu, misalnya selama 2 tahun, si karyawan tidak boleh mengundurkan diri (resigned).bahkan kalau mengundurkan diri bisa kena denda pinalti.

3.     Karyawan swasta tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai resign.

Jadi, kalau semua syarat tersebut terpenuhi dan karyawan swasta dinyatakan resmi mengundurkan diri, barulah uang penggantian hak dan uang pisah diberikan oleh Perusahaan kepada karyawan.


Simak videonya di bawah ini!! 

Pembubaran Perusahaan (Likuidasi)

PEMBUBARAN PERUSAHAAN (LIKUIDASI)

by Kristoper Tambunan, S.H.,M.H.

Likuidasi adalah proses pembubaran Perusahaan, karena perusahaan menghentikan operasionalnya, lalu menjual aset-aset yang dimiliki, dan menggunakan uang hasil penjualan tersebut untuk membayar utang kepada kreditor, jika ada. Nantinya, sisa uang yang ada, setelah dibayarkan kepada semua Kreditor, lalu dibagikan kepada pemegang saham, sesuai dengan porsi saham yang dimiliki oleh masing-masing pemegang saham.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Nomor 272/PMk.05/2014 Tentang Pelaksanaan Likuidasi Entitas Akuntansi dan Entitas Pelaporan pada Kementerian Negara/Lembaga adalah tindakan penyelesaian seluruh aset dan kewajiban, sebagai akibat pengakhiran/pembubaran entitas akuntansi dan/atau entitas pelaporan pada kementerian negara/lembaga.

Mengapa Perusahaan Bisa Mengalami Likuidasi atau pembubaran?
Pembubaran suatu Perusahaan (Likuidasi) bisa terjadi karena (Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas – “UU 40/2007”):
1. Berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”);
2. Karena jangka waktu berdirinya, yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
3. Berdasarkan adanya penetapan pengadilan;
4. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
5. Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit, berada dalam keadaan insolvensi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
6. Dicabutnya izin usaha Perseroan, sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Perusahaan mengalami penggabungan (merger) atau Akuisisi.
Selain itu, Perusahaan bisa di Likuidasi karena:
8. Masalah Keuangan. Jadi, kalau pendapatan perusahaan menurun drastis, dan biaya operasional perusahaannya sangat tinggi, maka bisa menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan, untuk membayar utang-utangnya kepada Kreditur seperti Bank. Jika masalah ini tidak segera diatasi, likuidasi bisa jadi jalan keluar untuk menuntaskan kewajiban.
9. Perselisihan Internal Perusahaan. Kalau dalam sebuah Perusahaan terjadi Konflik antar pemilik, manajemen/pengurus, atau pemegang saham, juga bisa menyebabkan perusahaan memilih untuk melikuidasi bisnisnya.

Jika sebuah perusahaan sudah tidak aktif atau bahkan mengalami kerugian besar hingga pailit, namun tidak segera dilikuidasi, ada beberapa risiko hukum yang bisa terjadi.

Berikut beberapa risiko utama yang perlu diperhatikan:
1. Tanggung Jawab Terhadap Utang
Perusahaan yang tidak dilikuidasi, maka Perusahaaan tetap bertanggung jawab terhadap utang-utang Perusahaan yang ada, meskipun perusahaan tersebut sudah tidak beroperasi lagi. Jika perusahaan tersebut tidak menjalani proses likuidasi, utang-utang tersebut tetap menjadi kewajiban yang harus diselesaikan. jadi, Pihak kreditor bisa membawa masalah ini ke pengadilan untuk menuntut pembayaran utang. Artinya, Jika ada aset yang belum dilikuidasi, kewajiban utang tetap harus dipenuhi. Tanpa proses likuidasi yang jelas, perusahaan akan terus menanggung kewajiban ini, dan masalah utang bisa semakin memburuk.
2. Tanggung Jawab Pribadi Pengurus
Jika pengurus Perusahaan, baik direksi/komisaris tidak segera melikuidasi perusahaan yang sudah tidak beroperasi lagi, dan mengabaikan kewajiban hukum perusahaan, mereka bisa dihadapkan pada tanggung jawab pribadi. Ini bisa terjadi jika pengurus dianggap tidak memenuhi kewajiban mereka untuk melindungi kepentingan kreditor, atau pemegang saham, dengan melakukan proses likuidasi yang tepat.
Dalam beberapa kasus, pengurus bisa dipertanggungjawabkan secara pribadi, atas kerugian yang timbul akibat kelalaian, dalam menjalankan proses likuidasi atau pembubaran perusahaan yang sesuai dengan hukum.
3. Sanksi Administratif dan Hukum
Selain ada risiko Pencabutan izin usaha karena perusahaan yang tidak aktif, tapi tidak melikuidasi dirinya, pihak berwenang (seperti pemerintah daerah atau kementerian terkait) dapat mengenakan denda atau sanksi administratif lainnya kepada Pengurus Perusahaaan termasuk pemegang saham.
Perusahaan yang tidak mengurus likuidasi bisa dikenai denda administratif dari otoritas pajak, karena perusahaan yang tidak aktif, tetap diwajibkan untuk menyelesaikan kewajiban pajak dan melaporkan keadaan keuangan secara tepat waktu.
4. Masalah Pajak
Jika perusahaan tidak menjalani likuidasi dengan benar, ada risiko utang pajak yang tidak diselesaikan. Karena, Meskipun perusahaan tidak beroperasi lagi, kewajiban pajak (seperti pajak penghasilan atau PPN) tetap berlaku. Jika tidak ditangani, pajak yang belum dibayar bisa bertambah, dan perusahaan bisa dikenakan sanksi administratif atau denda yang besar.
Termasuk Penyelesaian NPWP: Jika perusahaan tidak melakukan likuidasi, dan masih memiliki NPWP aktif, kewajiban pelaporan dan pembayaran pajak tetap berlaku, yang bisa berujung pada masalah hukum di kemudian hari.
5. Penyalahgunaan Aset
Dalam beberapa kasus, jika perusahaan tidak dilikuidasi dengan benar, bisa terjadi penyalahgunaan atau penyembunyian aset. Pemegang saham atau pengurus Perusahaan, bisa saja mengalihkan asset. atau menyembunyikan asset, untuk menghindari kewajiban kepada kreditor atau pemegang saham lainnya. Hal ini bisa berujung pada, adanya tuntutan hukum atau dugaan tindak pidana penggelapan.
6. Kehilangan Reputasi
Tidak segera melikuidasi perusahaan yang sudah tidak aktif atau pailit bisa menyebabkan kerusakan reputasi di mata publik dan juga dunia usaha. Jika perusahaan terkesan tidak profesional atau tidak bertanggung jawab dalam mengurus kewajiban hukum dan administrasi, ini bisa berdampak buruk pada kepercayaan pelanggan, mitra bisnis, dan investor di masa depan.
7. Potensi Penyitaan Aset
Jika perusahaan tidak dilikuidasi, dan Perusahaan tidak menuntaskan kewajiban utangnya, kreditor dapat mengajukan gugatan dan berpotensi melakukan penyitaan atas aset yang masih dimiliki oleh perusahaan. Tanpa proses likuidasi yang jelas, penyelesaian utang bisa menjadi rumit dan berdampak pada pihak-pihak yang terkait.
Kesimpulannya, melakukan likuidasi perusahaan yang sudah tidak aktif sangat penting untuk menghindari risiko hukum yang lebih besar di masa depan. Tanpa proses likuidasi yang benar, perusahaan bisa menghadapi masalah dengan utang, pajak, izin usaha, dan bahkan menghadapi tuntutan hukum pribadi dari kreditor atau otoritas yang berwenang. Oleh karena itu, sebaiknya perusahaan segera melakukan likuidasi jika sudah tidak aktif atau dalam kondisi pailit, agar dapat menyelesaikan kewajiban hukum dan menghindari masalah di kemudian hari.

https://youtu.be/dV8_edX33Ow

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Cipta Kerja

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

By. Kristoper Tambunan, S.H.,M.H

Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan Sebagian tuntutan dari permohonan uji materiil (judicial review) atas Undang-Undang Cipta Kerja, yang diajukan oleh Partai Buruh, Organisasi Buruh dan Buruh (Pekerja). Pertanyaannya, tuntutan apa saja sih yang dikabulkan MK ini? Simak video ini sampai habis!

Jadi ceritanya, Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh, mengajukan permohonan uji materiil (Judicial Review), sebagaimana terdaftar dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 di MK.

Setelah melalui proses persidangan, akhirnya Majelis Hakim MK, yang memeriksa dan mengadili perkara Judicial Review tersebut, memberikan Putusan yang pada pokoknya, agar pembentuk undang-undang (Pemerintah/DPR), segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru, dan memisahkan, atau mengeluarkan dari UU 6/2023.

Alasannya apa, karena MK menilai, ada kemungkinan, antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja saling tumpang tindih, jadi bingung mau pakai undang-undang yang mana. Khususnya terkait dengan, aturan dalam UU Ketenagakerjaan yang sudah diubah (baik berupa pasal dan ayat), jadi sulit dipahami oleh Masyarakat biasa (awam), termasuk sulit dipahami oleh pekerja/buruh.

Artinya, kalau permasalahan itu dibiarkan terus-terusan, dan tidak segera dicari jalan keluarnya, aturan hukum tentang ketenagakerjaan di Indonesia jadi tidak jelas. Dampaknya, adanya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan hukum yang berkepanjangan. Jadi, ketidaksinkronan materi/substansi undang-undang ketenagakerjaan harus diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan. Jangan Masyarakat dibuat jadi bingung.

Untuk mempersingat waktu, saya akan membahas satu persatu terkait permohonan yang dikabulkan MK tersebut. Ada beberapa Tuntutan yang dikabulkan oleh MK, menyangkut tentang permohonan uji materiil (Judicial Review) atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

1.       Penggunaan Tenaga Kerja Indonesia

Jadi, Tenaga Kerja Asing, bisa dipekerjakan di Indonesia, hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan dan waktu tertentu, sesuai dengan kompetensi jabatan yang akan didudukinya. Artinya, harus diutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

2.       Jangka Waktu Karyawan Kontrak (PKWT)

Jadi, Terkait dengan pengaturan jangka waktu karyawan kontrak (PKWT) yang saat ini sudah berjalan, hanya boleh paling lama 5 (lima) tahun, termasuk kalua ada perpanjangan PKWT sebagai dasar perjanjian kerja.

3.       Jenis Pekerjaan yang bisa dijadikan karyawan kontrak (Outsourching)

Menteri harus menetapkan, jenis pekerjaan apa saja yang dapat dijadikan kontrak (Outsourcing) dalam perjanjian alih daya. Jadi, perusahaan pemberi kerja, punya standar yang jelas tentang jenis pekerjaan yang bisa dioutsourcingkan. Termasuk tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dalam praktik alih daya, sehingga meminimalisir timbulnya konflik/persoalan hukum di kemudian hari. Karena semua sudah jelas di atur. Kalua masih dilanggar juga, Perusahaan sebagai pemberi kerja bisa kena sanksi.

4.       Waktu hari Kerja

Untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum, MK menegaskan waktu kerja adalah 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Tidak boleh lebih. Artinya, kalau lebih, maka harus ada kompensasi yang diberikan oleh Perusahaan kepada pekerja, misalnya upah lembur.

5.       Upah (Gaji)

Upah (gaji) harus mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar. Baik itu makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua. Dengan catatan, pemberian Upah (gaji) juga harus proporsional. Artinya, sesuai kontribusi tenaga kerja, dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buru, serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
selain itu, MK menegaskan, Upah Minimum Sektoral harus diberlakukan, karena pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda-beda, tergantung tuntutan pekerjaan yang lebih berat, atau spesialisasi yang diperlukan.

6.       Dewan Pengupahan

MK menghidupkan lagi peran dewan pengupahan yang dihapus di UU Cipta Kerja, sehingga penetapan kebijakan upah ke depan tak lagi sepihak di tangan pemerintah pusat.

7.       Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

MK menegaskan, perundingan bipartit (antara Perusahaan dan Pekerja) terkait pemutusan hubungan kerja (PHK), harus dilakukan secara musyawarah mufakat. Kalau mentok, PHK hanya dapat dilakukan, setelah ada penetapan dari Pengadilan hubungan industrial (PHI), yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap. Jadi, Perusahaan tidak bisa main PHK sembarangan.

8.       Uang penghargaan masa kerja

Pengaturan soal hitungan UPMK di dalam UU Cipta Kerja adalah nominal batas bawah (minimum). MK menegaskan, Pasal 156 ayat (2) dalam pasal 81 angka 47 beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “paling sedikit”.

9.       Perjanjian kerja waktu tertentu

Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. 

10.   Hak Pekerja di dahulukan

Hak lainnya dari Pekerja/Buruh didahulukan pembayarannya, atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.

Jadi, itulah sebagian tuntutan dari permohonan uji materiil (judicial review), yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), semoga bermanfaat!!