Hibah yang Dibuat oleh Penghibah yang Sedang Sakit atau Di Bawah Ancaman Sah

Hibah yang Dibuat oleh Penghibah yang Sedang Sakit atau Di Bawah Ancaman Sah by Kristoper Tambunan, S.H.,M.H.

Hibah bisa diartikan sebagai pemberian Cuma-Cuma seseorang, kepada orang lain semasa hidupnya. Jadi, Hibah baru sah mengikat penghibah, dan memberikan akibat hukum, sejak penghibahan tersebut diterima oleh penerima hibah. Berarti hibah harus dilakukan, ketika pemberi hibah dan penerima hibah masih hidup. Jadi, sepanjang hibah sudah dilakukan, lalu penerima hibah meninggal dunia, hibah itu tetap sah.

Hal yang perlu menjadi catatan kita, ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hibah menjadi batal, yaitu antara lain:

  1. Hibah yang mengenai benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 1667 ayat (2) KUHPerdata).
  2. Hibah yang menyatakan si penghibah, tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain, suatu benda yang termasuk dalam hibah, dianggap batal. Yang batal hanya terkait dengan benda tersebut. (Pasal 1668 KUHPerdata).
  3. Hibah yang membuat syarat, bahwa penerima hibah akan melunasi utang atau beban-beban lain, di samping apa yang dinyatakan dalam akta hibah itu sendiri atau dalam daftar dilampirkan (Pasal 1670 KUHPerdata).
  4. Hibah atas benda tidak bergerak menjadi batal, jika tidak dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata).

Dalam hukum Indonesia, hibah memiliki syarat-syarat khusus untuk dinyatakan sah. Pada kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1289k/Pdt/2019, terjadi pemberian hibah yang dilakukan oleh seorang bibi/tante kepada keponakannya. Di persidangan, saksi menyatakan pada saat dilakukannya hibah tersebut, si pemberi hibah dalam keadaan sakit ingatan, dan sudah sulit untuk mengenali orang disekitarnya. Apalagi Hibahnya tanpa adanya persetujuan dari ahli waris.

Karena Hibah ini bisa diidentikkan dengan Perjanjian, maka agar hibah tersebut dikatakan sah, dan mengikat secara hukum, hibah harus memenuhi empat syarat perjanjian diatur di

dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Untuk itu pelaksanaan hibah, haruslah dilakukan dengan mengikuti pengaturan di dalam syarat sah perjanjian ini. Ketika syarat sah perjanjian ini, dilanggar maka dapat menimbulkan akibat hukum. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka Hibah dapat dibatalkan oleh pihak yang berkepentingan, sedangkan apabila syarat objektif dinyatakan terlanggar maka Hibahnya menjadi batal demi hukum.

Dalam kasus ini, diketahui bahwa pemberi hibah yang sudah tua, bahkan sakit ingatan, dan sudah sulit untuk mengenali orang-orang disekitarnya, sehingga perlu diperhatikan mengenai: syarat sah perjanjian kedua yaitu kecapakan para pihak dalam perjanjian.

Ketentuan mengenai orang-orang yang dianggap tidak cakap hukum diatur di dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu :

  1. Orang-orang yang belum dewasa;
  2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan atau harus ada wali;
  3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya, semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu.

Pasal 433 KUHPerdata, menjelaskan bahwa seseorang yang sudah dewasa, dapat ditaruh dibawah pengampuan (wali), apabila ia selalu berada di dalam keadaan gangguan mental, sakit otak, mata gelap, ataupun karena keborosonnya. Artinya, Orang-orang yang disebutkan dalam pasal ini, dinyatakan sebagai pihak yang tidak cakap hukum dan memerlukan pihak lain yaitu Wali, untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Bisa orang terdekatnya seperti keluarga.

Jadi, kalau Penghibah yang memberikan hibah, pada saat itu sedang sakit dan sudah pikun, maka Penghibah dapat dikategorikan, sebagai orang yang harus berada di bawah pengampuan (harus ada Wali), karena keadaan ingatannya yang sudah tidak dapat mengenali orang lain, termasuk kalau penghibah diancam/ada pemaksaan. Sehingga
dalam hal ini, syarat sah perjanjian mengenai cakap hukum terlanggar.

Artinya, hibah yang dibuat oleh seseorang yang sudah tua, sakit-sakitan, atau bahkan mengalami gangguan kognitif seperti demensia, dapat dianggap tidak sah karena kemungkinan kurangnya kecakapan hukum (Pasal 1320 KUHPerdata).

Selain itu, Pasal 1321 KUHPerdata mengatur bahwa persetujuan atau kesepakatan yang diberikan di bawah ancaman, paksaan, atau tipu muslihat adalah batal demi hukum. Oleh karena itu, jika hibah diberikan karena adanya tekanan, paksaan, atau ancaman, hibah tersebut dapat dibatalkan.

Langkah Hukum yang Bisa Ditempuh:

  1. Gugatan Pembatalan Hibah ke Pengadilan:

Jika hibah sudah terjadi dan dibuat dalam bentuk akta notaris, Anda dapat mengajukan gugatan pembatalan hibah ke pengadilan. Gugatan ini didasarkan pada Pasal 1320 dan 1321 KUHPerdata, untuk menyatakan bahwa hibah tidak memenuhi syarat kesepakatan atau dilakukan di bawah ancaman atau tekanan. Termasuk Menggugat Notaris Jika Ada Kelalaian. Atau terdapat bukti bahwa notaris, tidak memastikan kondisi kesehatan atau kecakapan hukum pemberi hibah. Selain itu, anda juga bisa membuat pengaduan ke Majelis Kehormatan Notaris, atau gugatan hukum atas kelalaian notaris tersebut.

  • Melaporkan Dugaan Pemaksaan atau Ancaman ke Polisi.

Jika Anda mempunyai bukti, bahwa hibah dibuat karena ancaman atau paksaan, Anda bisa melaporkan hal ini ke pihak berwajib. Ancaman atau pemaksaan terhadap seseorang untuk melakukan perbuatan hukum seperti hibah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sesuai Pasal 368 KUHP tentang pemerasan/pengancaman.

Jadi, kalau anda pernah mengalami kasus serupa atau merasa ada yang tidak wajar dalam hibah yang sudah dibuat, anda bisa mengajukan Upaya hukum, baik secara perdata dengan cara mengajukan gugatan pembatalan hibah ke pengadilan negeri, atau mengajukan Upaya hukum secara pidana dengan membuat laporan polisi, kalau misalnya ada dugaan tindak pidana pemaksaan/ancaman, agar penghibah membuat hibah, atau misalnya ada pemalsuan hibah.

Silahkan klik Video di bawah ini:

Hak Karyawan yang Mengundurkan Diri (Resigned) dari Perusahaan

HAK KARYAWAN YANG MENGUNDURKAN DIRI (RESIGNED)

By. Kristoper Tambunan, S.H.,M.H.

Apakah karyawan swasta, yang kemudian mengundurkan diri (resigned), berhak mendapatkan uang pesangon? 

Pertanyaan ini sering ditanyakan audiens kita, karena menyangkut tentang bagaimana hak karyawan swasta, yang mengundurkan diri (resigned). Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipastikan, apa status dari karyawan swastanya. Apakah berstatus sebagai karyawan kontrak/karyawan outsourcing, berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), atau berstatus karyawan tetap, berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Kenapa ini penting, karena hanya karyawan tetap, yang berhak mendapatkan pesangon, uang penggantian hak dan uang penghargaan masa kerja dan hak-hak lainnya, kalau misalnya si karyawan di PHK. Karena, pertanyaannya menyangkut tentang pesangon, jadi saya menganggap, status karyawannya sebagai karyawan tetap.

Seperti yang kita ketahui, uang pesangon adalah salah satu hak dari karyawan swasta yang mengundurkan diri dari sebuah perusahaan. Kalau mengacu ke UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, hak-hak karyawan atas pesangon itu diatur dalam Pasal 156 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan sejak berlakunya Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 atau UU Cipta Kerja, uang pesangon diberikan kepada karyawan swasta dengan kategori tertentu, salah satunya yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Akan tetapi, sama halnya dengan UU Ketenagakerjaan, uang pesangon dalam UU Cipta Kerja ini juga tidak berlaku bagi karyawan swasta yang
resign (mengundurkan diri). Dengan catatan, resign atau pengunduran diri dari perusahaan tempat bekerjanya tersebut karena kemauan diri sendiri. Bukan karena paksaan/dipaksa pihak Perusahaan atau pihak manapun juga.

Pertanyaannya, jadi apa dong hak karyawan yang sudah mengundurkan diri (resigned)? Apa tidak berhak sama sekali atau tidak dapat apa-apa dari pihak Perusahaan, sementara si karyawan sudah lama bekerja/mengabdi di Perusahaan tempatnya bekerja?

Perlu saya sampaikan, walaupun karyawan yang mengundurkan diri, tidak dapat uang pesangon, pemerintah mengatur tentang 2 jenis hak karyawan swasta yang resign.

Berdasarkan pasal 50 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021, diatur tentang:

1. Uang Penggantian Hak

Uang Penggantian Hak untuk karyawan swasta yang resign terdiri dari 3 jenis:

– Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur. Walaupun dalam prakteknya, Sebagian besar Perusahaan dalam peraturan perusahaannya menyatakan cuti tahunan tidak bisa diuangkan.

– Biaya atau ongkos pulang untuk karyawan swasta dan keluarganya ke tempat di mana karyawan swasta diterima bekerja. Biasanya ini hanya berlaku, bagi karyawan yang recruitmennya dari daerah lain, dan sebelumnya, aturan tentang ongkos pulang ini sudah diatur dalam peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja atau perjanjian kerja Bersama .

2. Uang Pisah

Perhitungan tentang uang pisah, untuk karyawan swasta yang resign, berbeda-beda di setiap Perusahaan, tergantung kebijakan Perusahaan. Hanya saja, yang perlu digaris bawahi, sebagian besar, Perusahaan tidak memberikan uang pisah, apalagi kalau misalnya si karyawannya sudah dimaksukkan dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Jadi, kalau karyawan mengundurkan diri, si karyawan hanya bisa mencairkan BPJS Ketenenagakerjaannya.

Jadi, pemberian uang penggantian hak dan uang pisah ini, diberikan ke karyawan yang mengundurkan diri, dengan catatan:

1.     Uang penggantian hak dan uang pisah ini, sebelumnya sudah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.  

2.     Uang penggantian hak dan uang pisah, diberikan kepada karyawan swasta yang mengajukan resign, telah memenuhi syarat dalam UU Cipta Kerja.

Biasanya, ada 3 syarat, agar karyawan swasta yang ingin resign, mendapatkan uang penggantian hak dan uang pisah:

1.     Wajib mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri (one month notice).

2.     Karyawan swasta yang bersangkutan tidak terikat dalam ikatan dinas. Jadi, sebelumnya, tidak ada kesepakatan/perjanjian dengan pihak Perusahaan kalau misalnya, selama kurun waktu tertentu, misalnya selama 2 tahun, si karyawan tidak boleh mengundurkan diri (resigned).bahkan kalau mengundurkan diri bisa kena denda pinalti.

3.     Karyawan swasta tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai resign.

Jadi, kalau semua syarat tersebut terpenuhi dan karyawan swasta dinyatakan resmi mengundurkan diri, barulah uang penggantian hak dan uang pisah diberikan oleh Perusahaan kepada karyawan.


Simak videonya di bawah ini!! 

Pembubaran Perusahaan (Likuidasi)

PEMBUBARAN PERUSAHAAN (LIKUIDASI)

by Kristoper Tambunan, S.H.,M.H.

Likuidasi adalah proses pembubaran Perusahaan, karena perusahaan menghentikan operasionalnya, lalu menjual aset-aset yang dimiliki, dan menggunakan uang hasil penjualan tersebut untuk membayar utang kepada kreditor, jika ada. Nantinya, sisa uang yang ada, setelah dibayarkan kepada semua Kreditor, lalu dibagikan kepada pemegang saham, sesuai dengan porsi saham yang dimiliki oleh masing-masing pemegang saham.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Nomor 272/PMk.05/2014 Tentang Pelaksanaan Likuidasi Entitas Akuntansi dan Entitas Pelaporan pada Kementerian Negara/Lembaga adalah tindakan penyelesaian seluruh aset dan kewajiban, sebagai akibat pengakhiran/pembubaran entitas akuntansi dan/atau entitas pelaporan pada kementerian negara/lembaga.

Mengapa Perusahaan Bisa Mengalami Likuidasi atau pembubaran?
Pembubaran suatu Perusahaan (Likuidasi) bisa terjadi karena (Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas – “UU 40/2007”):
1. Berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”);
2. Karena jangka waktu berdirinya, yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
3. Berdasarkan adanya penetapan pengadilan;
4. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
5. Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit, berada dalam keadaan insolvensi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
6. Dicabutnya izin usaha Perseroan, sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Perusahaan mengalami penggabungan (merger) atau Akuisisi.
Selain itu, Perusahaan bisa di Likuidasi karena:
8. Masalah Keuangan. Jadi, kalau pendapatan perusahaan menurun drastis, dan biaya operasional perusahaannya sangat tinggi, maka bisa menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan, untuk membayar utang-utangnya kepada Kreditur seperti Bank. Jika masalah ini tidak segera diatasi, likuidasi bisa jadi jalan keluar untuk menuntaskan kewajiban.
9. Perselisihan Internal Perusahaan. Kalau dalam sebuah Perusahaan terjadi Konflik antar pemilik, manajemen/pengurus, atau pemegang saham, juga bisa menyebabkan perusahaan memilih untuk melikuidasi bisnisnya.

Jika sebuah perusahaan sudah tidak aktif atau bahkan mengalami kerugian besar hingga pailit, namun tidak segera dilikuidasi, ada beberapa risiko hukum yang bisa terjadi.

Berikut beberapa risiko utama yang perlu diperhatikan:
1. Tanggung Jawab Terhadap Utang
Perusahaan yang tidak dilikuidasi, maka Perusahaaan tetap bertanggung jawab terhadap utang-utang Perusahaan yang ada, meskipun perusahaan tersebut sudah tidak beroperasi lagi. Jika perusahaan tersebut tidak menjalani proses likuidasi, utang-utang tersebut tetap menjadi kewajiban yang harus diselesaikan. jadi, Pihak kreditor bisa membawa masalah ini ke pengadilan untuk menuntut pembayaran utang. Artinya, Jika ada aset yang belum dilikuidasi, kewajiban utang tetap harus dipenuhi. Tanpa proses likuidasi yang jelas, perusahaan akan terus menanggung kewajiban ini, dan masalah utang bisa semakin memburuk.
2. Tanggung Jawab Pribadi Pengurus
Jika pengurus Perusahaan, baik direksi/komisaris tidak segera melikuidasi perusahaan yang sudah tidak beroperasi lagi, dan mengabaikan kewajiban hukum perusahaan, mereka bisa dihadapkan pada tanggung jawab pribadi. Ini bisa terjadi jika pengurus dianggap tidak memenuhi kewajiban mereka untuk melindungi kepentingan kreditor, atau pemegang saham, dengan melakukan proses likuidasi yang tepat.
Dalam beberapa kasus, pengurus bisa dipertanggungjawabkan secara pribadi, atas kerugian yang timbul akibat kelalaian, dalam menjalankan proses likuidasi atau pembubaran perusahaan yang sesuai dengan hukum.
3. Sanksi Administratif dan Hukum
Selain ada risiko Pencabutan izin usaha karena perusahaan yang tidak aktif, tapi tidak melikuidasi dirinya, pihak berwenang (seperti pemerintah daerah atau kementerian terkait) dapat mengenakan denda atau sanksi administratif lainnya kepada Pengurus Perusahaaan termasuk pemegang saham.
Perusahaan yang tidak mengurus likuidasi bisa dikenai denda administratif dari otoritas pajak, karena perusahaan yang tidak aktif, tetap diwajibkan untuk menyelesaikan kewajiban pajak dan melaporkan keadaan keuangan secara tepat waktu.
4. Masalah Pajak
Jika perusahaan tidak menjalani likuidasi dengan benar, ada risiko utang pajak yang tidak diselesaikan. Karena, Meskipun perusahaan tidak beroperasi lagi, kewajiban pajak (seperti pajak penghasilan atau PPN) tetap berlaku. Jika tidak ditangani, pajak yang belum dibayar bisa bertambah, dan perusahaan bisa dikenakan sanksi administratif atau denda yang besar.
Termasuk Penyelesaian NPWP: Jika perusahaan tidak melakukan likuidasi, dan masih memiliki NPWP aktif, kewajiban pelaporan dan pembayaran pajak tetap berlaku, yang bisa berujung pada masalah hukum di kemudian hari.
5. Penyalahgunaan Aset
Dalam beberapa kasus, jika perusahaan tidak dilikuidasi dengan benar, bisa terjadi penyalahgunaan atau penyembunyian aset. Pemegang saham atau pengurus Perusahaan, bisa saja mengalihkan asset. atau menyembunyikan asset, untuk menghindari kewajiban kepada kreditor atau pemegang saham lainnya. Hal ini bisa berujung pada, adanya tuntutan hukum atau dugaan tindak pidana penggelapan.
6. Kehilangan Reputasi
Tidak segera melikuidasi perusahaan yang sudah tidak aktif atau pailit bisa menyebabkan kerusakan reputasi di mata publik dan juga dunia usaha. Jika perusahaan terkesan tidak profesional atau tidak bertanggung jawab dalam mengurus kewajiban hukum dan administrasi, ini bisa berdampak buruk pada kepercayaan pelanggan, mitra bisnis, dan investor di masa depan.
7. Potensi Penyitaan Aset
Jika perusahaan tidak dilikuidasi, dan Perusahaan tidak menuntaskan kewajiban utangnya, kreditor dapat mengajukan gugatan dan berpotensi melakukan penyitaan atas aset yang masih dimiliki oleh perusahaan. Tanpa proses likuidasi yang jelas, penyelesaian utang bisa menjadi rumit dan berdampak pada pihak-pihak yang terkait.
Kesimpulannya, melakukan likuidasi perusahaan yang sudah tidak aktif sangat penting untuk menghindari risiko hukum yang lebih besar di masa depan. Tanpa proses likuidasi yang benar, perusahaan bisa menghadapi masalah dengan utang, pajak, izin usaha, dan bahkan menghadapi tuntutan hukum pribadi dari kreditor atau otoritas yang berwenang. Oleh karena itu, sebaiknya perusahaan segera melakukan likuidasi jika sudah tidak aktif atau dalam kondisi pailit, agar dapat menyelesaikan kewajiban hukum dan menghindari masalah di kemudian hari.

https://youtu.be/dV8_edX33Ow

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Cipta Kerja

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

By. Kristoper Tambunan, S.H.,M.H

Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan Sebagian tuntutan dari permohonan uji materiil (judicial review) atas Undang-Undang Cipta Kerja, yang diajukan oleh Partai Buruh, Organisasi Buruh dan Buruh (Pekerja). Pertanyaannya, tuntutan apa saja sih yang dikabulkan MK ini? Simak video ini sampai habis!

Jadi ceritanya, Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh, mengajukan permohonan uji materiil (Judicial Review), sebagaimana terdaftar dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 di MK.

Setelah melalui proses persidangan, akhirnya Majelis Hakim MK, yang memeriksa dan mengadili perkara Judicial Review tersebut, memberikan Putusan yang pada pokoknya, agar pembentuk undang-undang (Pemerintah/DPR), segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru, dan memisahkan, atau mengeluarkan dari UU 6/2023.

Alasannya apa, karena MK menilai, ada kemungkinan, antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja saling tumpang tindih, jadi bingung mau pakai undang-undang yang mana. Khususnya terkait dengan, aturan dalam UU Ketenagakerjaan yang sudah diubah (baik berupa pasal dan ayat), jadi sulit dipahami oleh Masyarakat biasa (awam), termasuk sulit dipahami oleh pekerja/buruh.

Artinya, kalau permasalahan itu dibiarkan terus-terusan, dan tidak segera dicari jalan keluarnya, aturan hukum tentang ketenagakerjaan di Indonesia jadi tidak jelas. Dampaknya, adanya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan hukum yang berkepanjangan. Jadi, ketidaksinkronan materi/substansi undang-undang ketenagakerjaan harus diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan. Jangan Masyarakat dibuat jadi bingung.

Untuk mempersingat waktu, saya akan membahas satu persatu terkait permohonan yang dikabulkan MK tersebut. Ada beberapa Tuntutan yang dikabulkan oleh MK, menyangkut tentang permohonan uji materiil (Judicial Review) atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

1.       Penggunaan Tenaga Kerja Indonesia

Jadi, Tenaga Kerja Asing, bisa dipekerjakan di Indonesia, hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan dan waktu tertentu, sesuai dengan kompetensi jabatan yang akan didudukinya. Artinya, harus diutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

2.       Jangka Waktu Karyawan Kontrak (PKWT)

Jadi, Terkait dengan pengaturan jangka waktu karyawan kontrak (PKWT) yang saat ini sudah berjalan, hanya boleh paling lama 5 (lima) tahun, termasuk kalua ada perpanjangan PKWT sebagai dasar perjanjian kerja.

3.       Jenis Pekerjaan yang bisa dijadikan karyawan kontrak (Outsourching)

Menteri harus menetapkan, jenis pekerjaan apa saja yang dapat dijadikan kontrak (Outsourcing) dalam perjanjian alih daya. Jadi, perusahaan pemberi kerja, punya standar yang jelas tentang jenis pekerjaan yang bisa dioutsourcingkan. Termasuk tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dalam praktik alih daya, sehingga meminimalisir timbulnya konflik/persoalan hukum di kemudian hari. Karena semua sudah jelas di atur. Kalua masih dilanggar juga, Perusahaan sebagai pemberi kerja bisa kena sanksi.

4.       Waktu hari Kerja

Untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum, MK menegaskan waktu kerja adalah 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Tidak boleh lebih. Artinya, kalau lebih, maka harus ada kompensasi yang diberikan oleh Perusahaan kepada pekerja, misalnya upah lembur.

5.       Upah (Gaji)

Upah (gaji) harus mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar. Baik itu makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua. Dengan catatan, pemberian Upah (gaji) juga harus proporsional. Artinya, sesuai kontribusi tenaga kerja, dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buru, serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
selain itu, MK menegaskan, Upah Minimum Sektoral harus diberlakukan, karena pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda-beda, tergantung tuntutan pekerjaan yang lebih berat, atau spesialisasi yang diperlukan.

6.       Dewan Pengupahan

MK menghidupkan lagi peran dewan pengupahan yang dihapus di UU Cipta Kerja, sehingga penetapan kebijakan upah ke depan tak lagi sepihak di tangan pemerintah pusat.

7.       Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

MK menegaskan, perundingan bipartit (antara Perusahaan dan Pekerja) terkait pemutusan hubungan kerja (PHK), harus dilakukan secara musyawarah mufakat. Kalau mentok, PHK hanya dapat dilakukan, setelah ada penetapan dari Pengadilan hubungan industrial (PHI), yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap. Jadi, Perusahaan tidak bisa main PHK sembarangan.

8.       Uang penghargaan masa kerja

Pengaturan soal hitungan UPMK di dalam UU Cipta Kerja adalah nominal batas bawah (minimum). MK menegaskan, Pasal 156 ayat (2) dalam pasal 81 angka 47 beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “paling sedikit”.

9.       Perjanjian kerja waktu tertentu

Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. 

10.   Hak Pekerja di dahulukan

Hak lainnya dari Pekerja/Buruh didahulukan pembayarannya, atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.

Jadi, itulah sebagian tuntutan dari permohonan uji materiil (judicial review), yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), semoga bermanfaat!!

Pencemaran Nama Baik di Media Sosial: Aturan dan Sanksi Hukum Bagi Pelaku!

PENCEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA SOSIAL: ATURAN DAN SANKSI HUKUM BAGI PELAKU ! by. Kristoper Tambunan, S.H.,M.H.

Menurut Oemar Seno Adji, pencemaran nama baik adalah suatu tindakan, yang menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, yang dilakukan secara tertulis, dengan menuduhkan sesuatu hal yang belum tentu kebenarannya. Artinya, kalau ada artis atau public figure atau siapapun, yang mengunggah video pencemaran nama baik, atau mengunggah kata-kata kasar, menghina, atau merendahkan orang lain di Media Sosial, mereka bisa saja dikenakan sanksi hukum.

Sebelum saya membahas tentang pencemaran nama baik di media sosial, saya akan terlebih dahulu membahas tentang pencemaran nama baik, yang diatur dalam KUHP yang lama dan, karena sebentar lagi yaitu tahun 2026 akan berlaku KUHP baru, maka saya akan membahas KUHP yang lama dan KUHP yang baru tersebut.

Pasal 310 KUHP jo. Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023


1.    Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.

2. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.

3.      Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.


 Pasal 433 UU 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru

1.     Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.

2.   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta.

Bedanya dengan KUHP Lama, di KUHP lama pidana penjaanya 1 tahun 4 bulan dan denda Rp.4,5 juta, sedangkan KUHP Baru,  pidana penjaranya 1 tahun 6 bulan dan denda Rp.50 juta.

3.     Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.

 Kalau ayat 3 masih sama dengan KUHP yang lama.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana kalau pencemaran nama baiknya di media sosial? Kalau perbuatan pencemaran nama baiknya di lakukan di media sosial selain dalam KUHP, maka Pelaku bisa dijerat dengan menggunakan Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 yang menyatakan, kalau pencemaran nama baiknya di Media Sosial, maka pelakunya dipidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.

Pasal 27A UU 1 Tahun 2024 tentang ITE

Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau nama baik” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.

(4) Setiap Orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya ha1 tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Pencemaran nama baik yang dimaksud disini adalah perbuatan yang “menyerang kehormatan atau nama baik” seseorang, atau perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menghina dan/atau memfitnah.

Kalau ada unsur SARA di Media Sosialnya, yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik, maka berdasarkan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024, dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

 Pasal 28 ayat (2) UU ITE

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.

 Pasal 45 A ayat (2) UU ITE

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas frsik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 Sebagai informasi, berdasarkan Lampiran SKB UU ITE jika muatan/konten berupa penghinaan seperti cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas maka dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan Pasal 315 KUHP atau Pasal 436 UU 1/2023 dan bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang sekarang diubah dengan Pasal 27A UU 1/2024. Dengan catatan, kalau kontennya tersebut berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan, maka bukan termasuk delik pencemaran nama baik, sehingga tidak bisa dilaporkan ke Polisi.

Penggunaan pasal UU ITE, tentang pencemaran nama baik di media sosial atau delik hukum pencemaran nama baik di media sosial yang diatur dalam Pasal 310 KUHP dan Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 adalah delik aduan, sehingga hanya korban yang bisa melaporkan Pelaku ke polisi. Artinya, kalau proses hukum hanya bisa berjalan kalau ada laporan dari Korban Pencemaran Nama Baik. Kalau tidak ada laporan Polisi, tidak bisa diproses hukum.

Biasanya dalam prakteknya, Pihak Kepolisian akan berupaya untuk menawarkan perdamaian antara Terduga Pelaku dan Korban melalui Restorative Justice. Kalau berdamai, proses hukum bisa dihentikan (Stop), tapi kalau lanjut, bisanya Penyidik (Pihak Kepolisian) akan meminta pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi, untuk menentukan apakah kontennya mengandung muatan pencemaran nama Baik termasuk penghinaan atau fitnah, atau tidak.

So, bijak-bijaklah menggunakan media sosial. Jangan hanya karena pengen terkenal dan viral, ujung-ujungnya nangis-nangis minta maaf karena masuk penjara. Kalau di konvensional, mulutmu adalah harimau mu, tapi kalau di media sosial, jarimu harimau mu!!!

https://youtu.be/jOHT4VRslQw Pencemaran Nama Baik di Media Sosial: Aturan dan Sanksi Hukum Bagi Pelaku!

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

1

Opini Hukum: Pentingnya dalam Sistem Hukum

Pengantar

Opini hukum merupakan salah satu komponen penting dalam praktik hukum. Di tengah kompleksitas sistem hukum yang terus berkembang, opini hukum memberikan pemahaman, analisis, dan rekomendasi mengenai isu-isu hukum tertentu. Artikel ini akan membahas apa itu opini hukum, proses penyusunannya, dan peran pentingnya dalam dunia hukum.

Apa Itu Opini Hukum?

Opini hukum adalah pendapat atau analisis yang diberikan oleh seorang ahli hukum atau praktisi hukum terkait dengan suatu isu atau masalah hukum. Pendapat ini biasanya didasarkan pada interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan, preseden, dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Meskipun tidak bersifat mengikat, opini hukum memiliki bobot yang signifikan dalam membantu individu dan organisasi mengambil keputusan yang tepat.

Fungsi Opini Hukum

  1. Memberikan Nasihat Hukum: Salah satu fungsi utama opini hukum adalah memberikan nasihat kepada klien. Dalam hal ini, pengacara atau konsultan hukum membantu klien memahami risiko dan kemungkinan hasil dari tindakan hukum yang akan diambil.
  2. Mendukung Proses Litigasi: Dalam konteks litigasi, opini hukum dapat digunakan untuk mendukung argumen dalam pengadilan. Pendapat ini sering kali dikutip dalam dokumen hukum untuk memberikan dasar yang kuat bagi posisi hukum yang diambil.
  3. Menjelaskan Ambiguitas Hukum: Hukum sering kali memiliki istilah yang ambigu atau tidak jelas. Opini hukum dapat membantu menjelaskan ketidakpastian ini, memberikan klarifikasi mengenai bagaimana suatu ketentuan seharusnya diterapkan.
  4. Pendidikan Hukum: Opini hukum juga berfungsi sebagai alat pendidikan, baik bagi praktisi hukum maupun masyarakat umum. Dengan memahami opini ini, individu dapat lebih siap dalam menghadapi isu hukum yang kompleks.

Proses Penyusunan Opini Hukum

Proses penyusunan opini hukum melibatkan beberapa langkah penting:

  1. Identifikasi Masalah: Langkah pertama adalah mengidentifikasi isu hukum yang perlu dianalisis. Ini bisa berupa pertanyaan konkret atau situasi yang memerlukan penjelasan.
  2. Penelitian Hukum: Peneliti melakukan penelitian mendalam terhadap peraturan yang relevan, doktrin, dan preseden untuk membangun fondasi opini yang kuat.
  3. Analisis: Setelah mengumpulkan informasi, analisis dilakukan untuk mengevaluasi berbagai sudut pandang dan implikasi hukum.
  4. Penulisan: Opini disusun dalam bentuk tertulis, dengan argumen yang jelas dan sistematis. Penulisan ini harus mencakup alasan di balik pendapat serta rujukan terhadap sumber hukum yang mendasarinya.

Contoh Penerapan Opini Hukum

Opini hukum dapat diterapkan dalam berbagai konteks, seperti:

  • Konsultasi Bisnis: Perusahaan yang ingin memahami implikasi hukum dari merger atau akuisisi akan meminta opini hukum untuk mengevaluasi risiko dan kepatuhan.
  • Kasus Litigasi: Seorang pengacara dapat meminta opini dari ahli hukum lain mengenai kemungkinan keberhasilan banding atas putusan pengadilan sebelumnya.
  • Regulasi Pemerintah: Lembaga pemerintah yang mempertimbangkan regulasi baru dapat mencari opini hukum untuk memastikan bahwa kebijakan yang diusulkan tidak bertentangan dengan hukum yang ada.

Batasan Opini Hukum

Meskipun opini hukum memiliki banyak manfaat, ada beberapa batasan yang perlu diperhatikan:

  • Tidak Mengikat: Opini hukum tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hal ini berarti bahwa hasil dari suatu tindakan hukum tetap tergantung pada keputusan pengadilan atau otoritas hukum lainnya.
  • Risiko Ketidakpastian: Interpretasi hukum dapat bervariasi, dan hasil dari suatu opini tidak selalu dapat diprediksi dengan tepat.
  • Perubahan Hukum: Hukum selalu berubah. Sebuah opini yang sah pada satu waktu mungkin tidak berlaku di masa depan.

Kesimpulan

Opini hukum memainkan peran yang krusial dalam membantu individu dan organisasi memahami serta menavigasi sistem hukum yang kompleks. Dengan memberikan analisis yang mendalam dan saran yang berharga, opini hukum memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih baik. Meskipun tidak bersifat mengikat, bobotnya dalam konteks hukum tetap sangat signifikan, baik untuk praktisi hukum maupun masyarakat umum. Memahami dan menghargai opini hukum adalah langkah penting dalam menghadapi tantangan hukum yang ada.

2

Apa Itu Hukum Tata Negara

Hukum tata negara adalah cabang ilmu hukum yang berfokus pada pengaturan struktur, organisasi, dan fungsi lembaga-lembaga negara serta hubungan antara negara dan warganya. Dalam konteks ini, hukum tata negara mengatur bagaimana negara beroperasi, bagaimana kekuasaan dibagi, dan bagaimana hak-hak individu dilindungi. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai aspek-aspek utama dari hukum tata negara:

1. Konstitusi

Konstitusi adalah dokumen hukum tertinggi yang menjadi dasar bagi semua hukum dan peraturan di suatu negara. Konstitusi mengandung prinsip-prinsip dasar yang mengatur:

  • Pembagian Kekuasaan: Menetapkan struktur pemerintahan dengan membagi kekuasaan antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
  • Hak Asasi Manusia: Menjamin dan melindungi hak-hak dasar warga negara, seperti kebebasan berpendapat, hak atas pendidikan, hak atas perlindungan hukum, dan lain-lain.
  • Proses Legislatif: Mengatur cara pembuatan undang-undang, termasuk siapa yang memiliki wewenang untuk membuat dan mengesahkan undang-undang.

2. Lembaga Negara

Hukum tata negara juga mengatur berbagai lembaga negara dan fungsinya:

  • Eksekutif: Biasanya terdiri dari presiden atau kepala pemerintahan dan menteri-menteri. Lembaga ini bertugas melaksanakan undang-undang dan menjalankan kebijakan publik.
  • Legislatif: Merupakan badan yang bertanggung jawab untuk membuat undang-undang. Di banyak negara, ini terdiri dari dua kamar (misalnya, DPR dan DPD di Indonesia) atau satu kamar.
  • Yudikatif: Badan peradilan yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan. Ini mencakup pengadilan tinggi, pengadilan umum, dan lembaga peradilan lainnya.

3. Sistem Pemerintahan

Hukum tata negara mengatur bentuk dan sistem pemerintahan yang diterapkan di suatu negara, seperti:

  • Republik: Dimana kekuasaan dipegang oleh rakyat melalui wakil-wakil yang dipilih.
  • Monarki: Di mana kekuasaan dipegang oleh seorang raja atau ratu, baik secara absolut maupun konstitusional.
  • Sistem Desentralisasi: Mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, termasuk otonomi daerah.

4. Hak Asasi Manusia

Salah satu aspek penting dari hukum tata negara adalah perlindungan hak asasi manusia. Hukum ini menetapkan:

  • Hak Warga Negara: Menjamin hak-hak individu dalam menghadapi otoritas negara.
  • Mekanisme Perlindungan: Menyediakan mekanisme untuk menuntut hak jika dilanggar, termasuk pengadilan atau lembaga pengawas.

5. Fungsi Hukum Tata Negara

  • Stabilisasi dan Legitimitas: Membantu menciptakan stabilitas politik dan legitimasi pemerintahan dengan mengatur bagaimana kekuasaan dijalankan.
  • Pengawasan Kekuasaan: Mengawasi dan membatasi kekuasaan pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan.
  • Pendidikan Hukum: Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai hak dan kewajiban mereka.

6. Tantangan dalam Hukum Tata Negara

Hukum tata negara menghadapi berbagai tantangan, antara lain:

  • Kepatuhan terhadap Hukum: Tidak semua lembaga negara dan individu mematuhi aturan yang ditetapkan.
  • Perubahan Sosial dan Politik: Dinamika sosial dan politik dapat memengaruhi implementasi hukum tata negara.
  • Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia: Di beberapa negara, hak asasi manusia masih sering dilanggar, meskipun diatur dalam konstitusi.

Kesimpulan

Hukum tata negara adalah landasan bagi penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan mengatur hubungan antara lembaga negara dan warga, serta menetapkan prinsip-prinsip dasar mengenai hak dan kewajiban, hukum tata negara berperan penting dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

demo-attachment-672-patrick-fore-H5Lf0nGyetk-unsplash-scaled

Apa itu Hukum ITE

Hukum ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) adalah cabang hukum yang mengatur berbagai aspek terkait penggunaan teknologi informasi dan transaksi yang dilakukan secara elektronik. Di Indonesia, hukum ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang hukum ITE:

1. Dasar Hukum dan Tujuan Hukum ITE

Dasar Hukum:
Hukum ITE bertujuan untuk memberikan kerangka hukum yang jelas bagi aktivitas di dunia maya, termasuk perlindungan hukum bagi pengguna dan penyelenggara sistem elektronik.

Tujuan Hukum ITE:

  • Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Digital: Menyediakan kerangka hukum yang mendukung perkembangan perdagangan elektronik.
  • Meningkatkan Kepercayaan Publik: Menciptakan lingkungan yang aman untuk transaksi elektronik, sehingga masyarakat merasa lebih nyaman dalam bertransaksi online.
  • Perlindungan Data Pribadi: Melindungi hak individu terkait data pribadi yang diproses secara elektronik.

2. Aspek-aspek Utama Hukum ITE

2.1. Transaksi Elektronik

Hukum ITE mengatur berbagai bentuk transaksi yang dilakukan secara elektronik, seperti:

  • Kontrak Elektronik: Pengaturan mengenai syarat sahnya kontrak yang dibuat secara elektronik, termasuk ketentuan tentang penawaran dan penerimaan.
  • Tanda Tangan Elektronik: Diakui sebagai alat bukti yang sah dalam transaksi elektronik, setara dengan tanda tangan manual.

2.2. Informasi Elektronik

Mengatur jenis-jenis informasi yang dapat diproses dan dipertukarkan secara elektronik, termasuk:

  • Data Pribadi: Menetapkan aturan tentang pengumpulan, pemrosesan, dan penyimpanan data pribadi.
  • Informasi yang Dilarang: Menentukan jenis informasi yang dilarang untuk disebarluaskan, seperti konten yang bersifat pornografi, perjudian, atau pencemaran nama baik.

2.3. Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik

Menetapkan tanggung jawab bagi penyelenggara sistem elektronik, seperti:

  • Keamanan Data: Kewajiban untuk menjaga keamanan dan integritas data yang dikelola.
  • Pelaporan: Kewajiban untuk melaporkan insiden keamanan yang dapat membahayakan data pengguna.

2.4. Sanksi dan Tindak Pidana

Hukum ITE mengatur sanksi bagi pelanggaran yang terjadi, termasuk:

  • Pencemaran Nama Baik: Penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik.
  • Penipuan Elektronik: Tindakan penipuan yang dilakukan melalui internet atau aplikasi digital.
  • Ancaman Keamanan: Tindak pidana yang berkaitan dengan peretasan, penyebaran virus, dan tindakan merusak lainnya.

2.5. Perlindungan Konsumen

Mengatur hak dan kewajiban konsumen dalam transaksi elektronik, termasuk:

  • Informasi yang Jelas: Penyedia layanan harus memberikan informasi yang jelas dan transparan tentang produk atau layanan.
  • Hak untuk Mengembalikan Barang: Konsumen memiliki hak untuk mengembalikan barang yang tidak sesuai dengan deskripsi.

3. Perkembangan dan Tantangan Hukum ITE

  • Perkembangan: Seiring dengan kemajuan teknologi, hukum ITE perlu terus diperbarui untuk mengakomodasi inovasi baru, seperti blockchain dan kecerdasan buatan.
  • Tantangan: Beberapa tantangan yang dihadapi termasuk:
  • Penyalahgunaan Teknologi: Kasus penipuan online, peretasan, dan penyebaran informasi palsu.
  • Kepatuhan: Penegakan hukum yang konsisten untuk memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum ITE.
  • Perlindungan Data Pribadi: Meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan data pribadi, yang memerlukan regulasi yang lebih ketat.

Kesimpulan

Hukum ITE memainkan peran penting dalam mendukung perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Dengan menyediakan kerangka hukum yang jelas, hukum ini bertujuan untuk melindungi hak-hak pengguna dan penyelenggara sistem elektronik. Di tengah kemajuan teknologi yang cepat, hukum ITE harus terus disesuaikan untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang yang muncul dalam era digital.

sengketa-imigrasi

Apa itu Sengketa Imigrasi

Sengketa imigrasi adalah konflik atau perselisihan yang berkaitan dengan masalah-masalah imigrasi, seperti proses masuk, tinggal, atau keluarnya individu dari suatu negara. Sengketa ini dapat melibatkan individu, pemerintah, atau lembaga terkait imigrasi dan sering kali memerlukan penyelesaian hukum.

Aspek-aspek Sengketa Imigrasi

1. Jenis-Jenis Sengketa Imigrasi

  • Permohonan Visa: Konflik dapat muncul ketika permohonan visa ditolak. Penolakan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti ketidaklengkapan dokumen atau tidak memenuhi syarat yang ditetapkan.
  • Pelanggaran Imigrasi: Individu yang tinggal di suatu negara tanpa izin yang sah (overstay) atau melanggar ketentuan visa mereka.
  • Pencabutan Status Imigrasi: Kasus di mana status imigrasi seseorang, seperti status penduduk tetap, dicabut oleh otoritas imigrasi karena pelanggaran hukum atau ketentuan yang berlaku.
  • Pengusiran (Deportasi): Proses di mana individu diusir dari negara karena pelanggaran hukum, misalnya, melakukan kejahatan atau tinggal secara ilegal.

2. Proses Penyelesaian Sengketa Imigrasi

  • Mediasi dan Negosiasi: Sengketa sering kali dapat diselesaikan melalui mediasi antara individu dan otoritas imigrasi. Mediasi ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan tanpa proses hukum formal.
  • Pengadilan: Jika mediasi tidak berhasil, individu dapat membawa kasusnya ke pengadilan. Pengadilan akan mempertimbangkan bukti dan argumen dari kedua belah pihak sebelum memberikan keputusan.
  • Banding: Jika hasil pengadilan tidak memuaskan, individu dapat mengajukan banding untuk meminta peninjauan kembali atas keputusan yang diambil.

Contoh Kasus Sengketa Imigrasi

Contoh 1: Penolakan Permohonan Visa

Seorang mahasiswa internasional mengajukan permohonan visa pelajar untuk melanjutkan pendidikan di universitas di luar negeri. Namun, permohonannya ditolak karena dianggap tidak memenuhi syarat keuangan yang diperlukan. Mahasiswa tersebut mengajukan banding atas keputusan ini, mengumpulkan bukti tambahan mengenai kemampuan keuangannya, dan berhasil mendapatkan visa setelah proses banding.

Contoh 2: Pelanggaran Imigrasi

Seorang pekerja asing tinggal di suatu negara setelah visa kerjanya kedaluwarsa. Otoritas imigrasi menemukan statusnya yang ilegal dan memutuskan untuk mengusirnya. Pekerja tersebut mengajukan permohonan untuk meninjau keputusan pengusiran, dengan argumen bahwa ia tidak dapat kembali ke negara asalnya karena situasi berbahaya. Pengadilan memutuskan untuk menunda pengusiran sementara meninjau kasusnya.

Contoh 3: Pengusiran karena Tindak Pidana

Seorang imigran yang telah tinggal di suatu negara selama beberapa tahun diusir setelah terlibat dalam kasus kriminal. Ia merasa bahwa pengusiran tersebut tidak adil, mengingat bahwa ia telah berkontribusi positif dalam masyarakat. Ia mengajukan gugatan hukum untuk menghentikan proses pengusiran, dengan argumen bahwa tindakan tersebut melanggar haknya untuk tinggal.

Dampak dari Sengketa Imigrasi

  • Kehilangan Hak: Individu yang terlibat dalam sengketa imigrasi dapat kehilangan hak untuk tinggal atau bekerja di negara tersebut, yang berdampak pada kehidupan pribadi dan ekonomi mereka.
  • Keterlambatan Proses: Sengketa dapat menyebabkan keterlambatan dalam pemrosesan visa atau permohonan status imigrasi, yang dapat menghambat rencana individu.
  • Tekanan Emosional: Sengketa imigrasi seringkali menimbulkan stres dan ketidakpastian bagi individu dan keluarga mereka, yang mungkin tergantung pada keputusan tersebut.

Kesimpulan

Sengketa imigrasi melibatkan berbagai isu yang berkaitan dengan hukum imigrasi, dan dapat mempengaruhi banyak aspek kehidupan individu. Proses penyelesaian sengketa ini bisa melibatkan mediasi, pengadilan, dan banding. Contoh-contoh kasus menunjukkan kompleksitas masalah ini, serta pentingnya memahami hak dan kewajiban dalam konteks imigrasi. Mencari bantuan hukum yang tepat juga menjadi langkah yang sangat penting untuk menghadapi sengketa imigrasi.

When, while the lovely valley teems with vapor around me, and the meridian sun strikes the upper surface of the impenetrable foliage of my trees, and but a few stray gleams steal into the inner sanctuary, I throw myself down among the tall grass by the trickling stream; and, as I lie close to the earth, a thousand unknown plants are noticed by me: when I hear the buzz of the little world among the stalks, and grow familiar with the countless indescribable forms of the insects and flies, then I feel the presence of the Almighty, who formed us in his own image, and the breath of that universal love which bears and sustains us, as it floats around us in an eternity of bliss; and then, my friend, when darkness overspreads my eyes, and heaven and earth seem to dwell in my soul and absorb its power, like the form of a beloved mistress, then I often think with longing, Oh, would I could describe these conceptions, could impress upon paper all that is living so full and warm within me.