Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Cipta Kerja

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

By. Kristoper Tambunan, S.H.,M.H

Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan Sebagian tuntutan dari permohonan uji materiil (judicial review) atas Undang-Undang Cipta Kerja, yang diajukan oleh Partai Buruh, Organisasi Buruh dan Buruh (Pekerja). Pertanyaannya, tuntutan apa saja sih yang dikabulkan MK ini? Simak video ini sampai habis!

Jadi ceritanya, Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh, mengajukan permohonan uji materiil (Judicial Review), sebagaimana terdaftar dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 di MK.

Setelah melalui proses persidangan, akhirnya Majelis Hakim MK, yang memeriksa dan mengadili perkara Judicial Review tersebut, memberikan Putusan yang pada pokoknya, agar pembentuk undang-undang (Pemerintah/DPR), segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru, dan memisahkan, atau mengeluarkan dari UU 6/2023.

Alasannya apa, karena MK menilai, ada kemungkinan, antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja saling tumpang tindih, jadi bingung mau pakai undang-undang yang mana. Khususnya terkait dengan, aturan dalam UU Ketenagakerjaan yang sudah diubah (baik berupa pasal dan ayat), jadi sulit dipahami oleh Masyarakat biasa (awam), termasuk sulit dipahami oleh pekerja/buruh.

Artinya, kalau permasalahan itu dibiarkan terus-terusan, dan tidak segera dicari jalan keluarnya, aturan hukum tentang ketenagakerjaan di Indonesia jadi tidak jelas. Dampaknya, adanya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan hukum yang berkepanjangan. Jadi, ketidaksinkronan materi/substansi undang-undang ketenagakerjaan harus diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan. Jangan Masyarakat dibuat jadi bingung.

Untuk mempersingat waktu, saya akan membahas satu persatu terkait permohonan yang dikabulkan MK tersebut. Ada beberapa Tuntutan yang dikabulkan oleh MK, menyangkut tentang permohonan uji materiil (Judicial Review) atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

1.       Penggunaan Tenaga Kerja Indonesia

Jadi, Tenaga Kerja Asing, bisa dipekerjakan di Indonesia, hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan dan waktu tertentu, sesuai dengan kompetensi jabatan yang akan didudukinya. Artinya, harus diutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

2.       Jangka Waktu Karyawan Kontrak (PKWT)

Jadi, Terkait dengan pengaturan jangka waktu karyawan kontrak (PKWT) yang saat ini sudah berjalan, hanya boleh paling lama 5 (lima) tahun, termasuk kalua ada perpanjangan PKWT sebagai dasar perjanjian kerja.

3.       Jenis Pekerjaan yang bisa dijadikan karyawan kontrak (Outsourching)

Menteri harus menetapkan, jenis pekerjaan apa saja yang dapat dijadikan kontrak (Outsourcing) dalam perjanjian alih daya. Jadi, perusahaan pemberi kerja, punya standar yang jelas tentang jenis pekerjaan yang bisa dioutsourcingkan. Termasuk tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dalam praktik alih daya, sehingga meminimalisir timbulnya konflik/persoalan hukum di kemudian hari. Karena semua sudah jelas di atur. Kalua masih dilanggar juga, Perusahaan sebagai pemberi kerja bisa kena sanksi.

4.       Waktu hari Kerja

Untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum, MK menegaskan waktu kerja adalah 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Tidak boleh lebih. Artinya, kalau lebih, maka harus ada kompensasi yang diberikan oleh Perusahaan kepada pekerja, misalnya upah lembur.

5.       Upah (Gaji)

Upah (gaji) harus mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar. Baik itu makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua. Dengan catatan, pemberian Upah (gaji) juga harus proporsional. Artinya, sesuai kontribusi tenaga kerja, dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buru, serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
selain itu, MK menegaskan, Upah Minimum Sektoral harus diberlakukan, karena pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda-beda, tergantung tuntutan pekerjaan yang lebih berat, atau spesialisasi yang diperlukan.

6.       Dewan Pengupahan

MK menghidupkan lagi peran dewan pengupahan yang dihapus di UU Cipta Kerja, sehingga penetapan kebijakan upah ke depan tak lagi sepihak di tangan pemerintah pusat.

7.       Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

MK menegaskan, perundingan bipartit (antara Perusahaan dan Pekerja) terkait pemutusan hubungan kerja (PHK), harus dilakukan secara musyawarah mufakat. Kalau mentok, PHK hanya dapat dilakukan, setelah ada penetapan dari Pengadilan hubungan industrial (PHI), yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap. Jadi, Perusahaan tidak bisa main PHK sembarangan.

8.       Uang penghargaan masa kerja

Pengaturan soal hitungan UPMK di dalam UU Cipta Kerja adalah nominal batas bawah (minimum). MK menegaskan, Pasal 156 ayat (2) dalam pasal 81 angka 47 beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “paling sedikit”.

9.       Perjanjian kerja waktu tertentu

Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. 

10.   Hak Pekerja di dahulukan

Hak lainnya dari Pekerja/Buruh didahulukan pembayarannya, atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.

Jadi, itulah sebagian tuntutan dari permohonan uji materiil (judicial review), yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), semoga bermanfaat!!